Senin, 20 April 2015

SEJARAH EKONOMI INDONESIA PADA MASA PEMERINTAH TRANSISI

Lahirnya Pemerintahan Masa Transisi
Perekonomian Indonesia Pada Masa Transisi
Pada  tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
  • Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisis ekonomi yang kemudian memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
  • Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
       Biaya Sosial Pada Masa Transisi
Biaya sosial yang didapat rakyat semakin besar jika masa transisi semakin lama. Pada saat ini saja sudah dapat disaksikan betapa besarnya penderitaan rakyat akibat berbagai kebijakan ekonomi yang dihasilkan di masa transisi. Keluarga yang mendaftarkan diri sebagai keluarga miskin bertambah menjadi 10 juta keluarga. Setelah melalui verifikasi pemerintah, hanya 2,5 juta keluarga yang berhak menerima bantuan langsung tunai (BLT). Sebelumnya sudah ada 15 juta keluarga yang menerima BLT. Dengan demikian total keluarga yang akan mendapat BLT adalah 17,5 juta. Jika yang 15 juta ditambahkan dengan 10 juta keluarga yang mengusulkan mendapat BLT maka akan ada 25 juta keluarga miskin di Indonesia. Jika diasumsikan setiap keluarga terdiri dari 4 orang maka jumlah orang miskin adalah sebesar 100 juta jiwa.  
Sementara jumlah keluarga yang berada di atas kriteria keluarga miskin jumlahnya juga tidak sedikit. Disamping itu kriteria keluarga miskin juga masih bisa diperdebatkan mengingat selama ini pengertian miskin oleh pemerintah belum sesuai dengan realitas di masyarakat. Keluarga miskin dicirikan dengan rumah kayu atau non tembok dan tidak memiliki televisi. Padahal keluarga yang rumahnya tembok dan memiliki televisi banyak juga yang tergolong miskin karena mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya dan sulit memenuhi biaya kesehatan serta sulit memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Paradoks antara perkembangan demokrasi dan peningkatan jumlah penduduk miskin adalah hasil dari semakin panjangnya masa transisi yang harus dilalui bangsa Indonesia. Tidak pernah terpikirkan kapan bisa berakhir. Hal ini juga sangat tergantung kepada pemerintah karena konsekuensi dari pemilihan periden langsung adalah timbulnya hak presiden menjabarkan visi pemerintahannya. Jika pemerintah terjebak kepada dinamika politik yang berkembang, maka bisa diramalkan transisi akan lebih panjang. Ini mengakibatkan tumpulnya kepekaan terhadap kesulitan ekonomi rakyat.   
 Memburuknya kinerja ekonomi, suburnya praktik korupsi, dan suasana politik yang centang perenang selama 10 tahun reformasi memaksa rakyat kembali berpaling pada Soeharto. Baik tidak baik, Soeharto lebih baik. Semiskin-miskinya era soeharto, rakyat tidak pernah antre minyak tanah dan minyak goreng serta kesulitan membeli tahu dan tempe.
Soeharto berhasil membangun pertanian dan manufaktur. Ia mampu membalikan posisi Indonesia sebagai Importir beras terbesar di dunia menjadi eksportir beras. Pembangunan sistematis terarah lewat pelita demi pelita berhasil menurunkan angka kemiskinan, buta, kematian dan laju pertumbuhan penduduk.
 


Peran Pemerintah Dalam Masa Transisi

             Masa transisi yang panjang perlu disikapi dengan melihat kebijakan ekonomi apa yang bisa mengeluarkan rakyat dari jebakan masa transisi. Jebakan transisi menumbuhkembangkan birokrasi yang kurang peka terhadap kesulitan ekonomi rakyat. Untuk itu perlu adanya lembaga di luar birokrasi yang mampu memberikan pencerahan ekonomi seperti halnya kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa memberikan sedikit pencerahan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.  
Zakat adalah potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal. Sosialisasinya masih sangat minim. Meskipun masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, namun kesadaran dan pengetahuan tentang kewajiban zakat relatif masih kurang. Di tengah carut marut masa transisi, sosialisasi zakat perlu diperkuat agar terjadi distribusi aset dalam skala ekonomi yang besar.  
Untuk itu perlu dibuat lembaga yang menangani zakat yang anggotanya diseleksi dan diuji kelayakan dan kepatutan di depan DPR agar didapatkan personil yang mampu mengelola masalah zakat dengan baik serta mendapatkan dukungan dari pemerintah baik berupa dana maupun lainnya.  
Pemerintah perlu diberikan masukan yang intensif untuk masalah ini agar terbuka pemikirannya untuk memperbaiki ekonomi rakyat. Kebijakan memperbaiki ekonomi rakyat tak lepas dari upaya pengurangan jumlah kemiskinan. Pada masa tansisi ini, rakyat miskin menjadi pihak yang paling merasakan akibat kebnijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM yang menyebabkan inflasi tinggi.  
Program pemerintah bagi orang miskin masih kurang efektif akibat birokrasi yang kurang peka terhadap beban penderitaan rakyat, namun di sisi lain diakui distribusinya sudah lebih baik dan ada niat baik dari pemerintah. Untuk itulah pembentukan Komisi Zakat Nasional diperlukan agar adanya lembaga yang memfokuskan diri serta peka terhadap masalah kemiskinan.  
Di masa transisi ini, di tengah dominannya masalah politik, perhatian kepada orang miskin masih kurang. Ini dapat dilihat dari kebijakan ekonomi yang tercermin di APBN. Maka mau tak mau perlu ada dana yang berasal dari luar APBN. Zakat adalah salah satu sumber dana yang potensial. Sumber dana lain tentunya ada juga, namun perlu ada pihak yang mengemukakan hal ini agar publik dan pemerintah mengetahuinya.   
Zakat adalah salah satu bentuk redistribusi aset yang memiliki nilai spriritual. Dengan jumlah orang Islam yang besar, potensi zakat juga besar. Penyaluran zakat yang berskala ekonomi akan membantu pemberdayaan orang miskin sehingga mereka bisa mandiri dan melepaskan ketergantungan dari bantuan zakat. Dengan demikian kelak mereka bisa menjadi pembayar zakat. Jika ini sudah terjadi, pada gilirannya akan membantu kebijakan ekonomi pemerintah.  
 Di masa transisi ini, kebijakan ekonomi pemerintah lebih mengharapkan adanya investasi dari luar yang akan mendatangkan devisa, modal serta memberi peluang kerja kepada rakyat. Sayangnya, iklim investasi di Indonesia saat ini masih kurang menarik dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Dengan adanya kebijakan zakat, jelas akan membantu pemerintah. Pemerintah perlu juga didorong agar komisi zakat nasional bisa memberikan hasil yang signifikan bagi pengurangan angka kemisknan dan memberikan efek muliplier bagi ekonomi.  
Menyikapi masa transisi yang panjang ini, kemiskinan harus mendapat perhatian. Upaya pemerintah keluar dari krisis masih didominasi dominannya konflik kepentingan sehingga kepentingan nasional tidak berada di depan. Inilah yang menyebabkan berlarutnya masa transisi. Zakat adalah posisi yang masih belum digarap dengan baik dan dalam skala ekonomi, padahal ia tidak berbenturan dengan konflik kepentingan. Hanya saja diperlukan orang-orang yang mau menggerakkan hal ini, termasuk menyampaikannya kepada pemerintah. Dan jutaan rakyat miskinpun menanti tangan-tangan yang tulus ikhlas mengangkat mereka dari kesengsaraan yang berkepanjangan. Tangan yang di atas sangat dinantikan perannya untuk membantu tangan yang di bawah agar keberkahan turun di muka bumi.  
Sebagian orang meyakini bahwa demokrasi dapat mengurangi bahkan memberantas kemiskinan. Namun di Indonesia, demokrasi yang kian mekar belum menunjukkan ke arah tersebut, bahkan timbul berbagai paradoks. Vietnam yang komunis, perekonomiannya mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Namun demikian, pilihan terhadap demokrasi yang sudah terlaksanan jangan sampai menghambat usaha-usaha pengoptimalan zakat. Bahkan sebaliknya, momentum demokratisasi harus mampu menjadi alat mengintensifkan pengurusan zakat dan permasalahannya.   
Para pemimpin umat mesti menyikapi masa transisi ini dengan memberi perhatian yang besar kepada masalah kemiskinan. Masa transisi yang panjang yang diwarnai konflik kepentingan akan menjauhkan perhatian kepada masalah kemiskinan. Para pemimpin umat dapat memanfaatkan momentum demokrasi sebagai upaya pemihakan kepada rakyat miskin yang tidak hanya bertambah jumlahnya, akan tetapi semakin sulit memenuhi kebutuhan primernya.
Menyikapi masa transisi yang panjang hendaknya dengan mencari solusi yang bisa dimanfaatkan, disamping mengkritisi kebijakan ekonomi yang kadang jauh dari keberpihakan terhadap kesejahteraan rakyat.