Kamis, 21 September 2017

Tugas Etika Profesi Akuntansi



KASUS KREDIT MACET PADA PT DHIVA INTER SARANA

PT Dhiva Inter Sarana (DIS) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan, yang sekaligus menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Ayoritas produk yang dijual PT Dhiva diimpor dari China, antara lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng. Sementara konsumen PT Dhiva adalah perusahaan produsen migas, seperti PT Pertamina (Persero), Chevron Pacific Indonesia, VICO, Petro China dan Odira Energy Karang Agung. Kedekatan PT Dhiva dengan sejumlah perusahaan migas tercermin pada Laporan Tahunan Indonesian Geothermal Golf Community (IGGC) periode 2012-2013.
Pada awal Januari 2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank Internasional Tbk yang menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir Desember 2014, Hal ini dikarenakan terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva berutang kepada BII-Maybank dengan total utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03 miliar,dengan asumsi Rp 12.000,00 per dolar AS, yang beberapa bulan macet atau tidak membayar angsuran. Utang tersebut jatuh tempo per Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri dari utang pokok senilai US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta. Total utang dari BII itu sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya fasilitas pinjaman rekening koran senilai Rp 2,7 miliar, fasilitas demand loan US$ 44 juta, dan L/C Line 1 US$ 8,7 juta yang jatuh tempo 7 Mei 2014, serta fasilitas L/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh tempo pada 12 Juni 2014.
Pihak BII telah beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan pihak PT Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva Inter tidak kunjung memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang diterimanya. BII akhirnya memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan tindakan hukum bila tidak membayar. PT Dhiva pun tetap enggan membayar, hingga ujungnya pihak BII menempuh jalur hukum terhadap masalah ini. Dan pada Rabu pagi, tanggal 7 Januari 2015, perkara ini disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31 Desember 2014, tertera bahwa perkara ini adalah permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait dengan masalah kredit macet oleh PT Dhiva. Di mana dalam hal ini PT Bank Internasional Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon, sedangkan PT Dhiva dan pemiliknya, Richard Setiawan selaku personel guarantee atau penjamin, sebagai termohon.
Pada dasarnya kasus kredit macet PT Dhiva ini mulai menyeruak setelah pemiliknya berinvestasi di luar bisnis inti perusahaan. Dan pada Desember 2013, PT Dhiva meminta agar pinjaman mereka direstrukturisasi. Akan tetapi, dari laporan audit internal BII-Maybank sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Adapun dalam laporan audit internal BII-Maybank tersebut tertera kalimat sebagai berikut.
"BII Internal Audit Team indicated that some of the invoices from the suppliers are fictitious. Further investigation is still being conducted (Tim Audit Internal BII mendapati indikasi bahwa sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif. Investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan),
Dalam laporan itu pula mencantumkan jumlah kredit PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah Rp 649,29 miliar (menggunakan kurs pada saat itu).
Terlepas dari itu semua, PT Dhiva ternyata tidak hanya memiliki utang kepada BII saja, namun memiliki kreditur atau utang-utang kepada pihak lainnya. PT Dhiva juga memiliki utang kepada Bank Permata senilai Rp 304,23 miliar. Dhiva juga diduga memiliki utang yang berpotensi gagal bayar ke Bank DBS Indonesia sebesar Rp 197,79 miliar, Bank Central Asia Tbk senilai Rp 850 juta, PT Orix Indonesia Finance senilai Rp 807,21 juta, Bank CIMB Niaga Rp 14,23 miliar, dan kepada BRI senilai Rp 33 miliar.
Kembali pada BII. Dengan adanya kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami penurunan pada tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09 triliun. Menurut Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK, Riyanti A.Y. Sali, hal ini disebabkan terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dalam catatan laporan keuangan BII-Maybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat kenaikan kredit yang masuk dalam kategori kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini tercantum pada kategori utang dalam dolar AS di sektor perdagangan, restoran dan hotel. Namun pada laporan keuangan per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos tersebut tersisa Rp 7 miliar. Sementara itu, nilai write off atau kredit yang dihapusbukukan dari neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit bermasalah BII ini mulai melonjak per akhir tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun, dibandingkan pada akhir tahun sebelumnya yang berada di level Rp 1,27 triliun. Dan setahun kemudian, pada posisi akhir September 2014, angkanya membengkak lagi menjadi Rp 2,43 triliun.
Dilihat dari besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup signifikan dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013. Kredit macet PT Dhiva ini menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit bermasalah di tahun 2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai dengan Desember 2013 telah disisihkan provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai September 2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp 1,46 triliun.

http://evinn68.blogspot.co.id/2016/05/analisis-kasus-kredit-macet-pada-pt.html