KASUS KREDIT MACET PADA PT DHIVA INTER SARANA
PT Dhiva Inter Sarana (DIS)
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor
minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan, yang sekaligus
menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Ayoritas produk yang dijual
PT Dhiva diimpor dari China, antara lain
perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal Hardware
Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng. Sementara konsumen PT Dhiva adalah
perusahaan produsen migas, seperti PT Pertamina (Persero), Chevron Pacific
Indonesia, VICO, Petro China dan Odira Energy Karang Agung. Kedekatan PT Dhiva
dengan sejumlah perusahaan migas tercermin pada Laporan Tahunan Indonesian
Geothermal Golf Community (IGGC) periode 2012-2013.
Pada awal Januari
2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank Internasional Tbk
yang menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir Desember 2014, Hal ini
dikarenakan terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva berutang kepada
BII-Maybank dengan total utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03
miliar,dengan asumsi Rp 12.000,00 per dolar
AS, yang beberapa bulan macet atau tidak membayar angsuran. Utang tersebut
jatuh tempo per Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri dari utang
pokok senilai US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta.
Total utang dari BII itu sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya
fasilitas pinjaman rekening koran senilai Rp 2,7 miliar, fasilitas demand
loan US$ 44 juta, dan L/C Line 1 US$ 8,7 juta yang jatuh tempo 7 Mei
2014, serta fasilitas L/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh tempo
pada 12 Juni 2014.
Pihak BII telah
beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan pihak PT Dhiva
untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva Inter tidak kunjung
memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang diterimanya. BII
akhirnya memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua kali
pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan tindakan hukum
bila tidak membayar. PT Dhiva pun tetap enggan membayar, hingga ujungnya
pihak BII menempuh jalur hukum terhadap masalah ini. Dan pada Rabu pagi,
tanggal 7 Januari 2015, perkara ini disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31 Desember 2014, tertera bahwa
perkara ini adalah permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) terkait dengan masalah kredit macet oleh PT Dhiva. Di mana dalam
hal ini PT Bank Internasional Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon,
sedangkan PT Dhiva dan pemiliknya, Richard Setiawan selaku personel guarantee atau
penjamin, sebagai termohon.
Pada dasarnya kasus
kredit macet PT Dhiva ini mulai menyeruak setelah pemiliknya berinvestasi di
luar bisnis inti perusahaan. Dan pada Desember 2013, PT Dhiva meminta agar
pinjaman mereka direstrukturisasi. Akan tetapi, dari laporan audit internal
BII-Maybank sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoice
dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Adapun dalam laporan audit internal
BII-Maybank tersebut tertera kalimat sebagai berikut.
"BII Internal Audit Team
indicated that some of the invoices from the suppliers are fictitious. Further
investigation is still being conducted (Tim Audit Internal BII
mendapati indikasi bahwa sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif.
Investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan),
Dalam laporan itu pula mencantumkan
jumlah kredit PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, adalah Rp 649,29 miliar (menggunakan kurs pada saat itu).
Terlepas dari itu semua, PT Dhiva
ternyata tidak hanya memiliki utang kepada BII saja, namun memiliki kreditur
atau utang-utang kepada pihak lainnya. PT Dhiva juga memiliki utang kepada Bank
Permata senilai Rp 304,23 miliar. Dhiva juga diduga memiliki utang yang
berpotensi gagal bayar ke Bank DBS Indonesia sebesar Rp 197,79 miliar, Bank
Central Asia Tbk senilai Rp 850 juta, PT Orix Indonesia Finance senilai Rp 807,21
juta, Bank CIMB Niaga Rp 14,23 miliar, dan kepada BRI senilai Rp 33 miliar.
Kembali pada BII. Dengan adanya
kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami penurunan pada tahun berjalan yang
cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga
September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh lebih rendah
dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09 triliun.
Menurut Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK,
Riyanti A.Y. Sali, hal ini disebabkan terjadinya penurunan laba
tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan
cadangan penghapusan kredit macet.
Dalam catatan laporan keuangan
BII-Maybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat kenaikan kredit yang masuk
dalam kategori kredit bermasalah (non-performing loan
atau NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini tercantum pada kategori utang dalam
dolar AS di sektor perdagangan, restoran dan hotel. Namun pada laporan keuangan
per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos tersebut tersisa Rp 7
miliar. Sementara itu, nilai write off atau
kredit yang dihapusbukukan dari neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit
bermasalah BII ini mulai melonjak per akhir tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun,
dibandingkan pada akhir tahun sebelumnya yang berada di level Rp 1,27 triliun.
Dan setahun kemudian, pada posisi akhir September 2014, angkanya membengkak
lagi menjadi Rp 2,43 triliun.
Dilihat dari besarannya, nilai kredit
bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup signifikan dibandingkan dengan total
kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013. Kredit macet PT Dhiva ini
menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit bermasalah di tahun 2013 ini,
pada laporan laba rugi Januari sampai dengan Desember 2013 telah disisihkan
provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai September
2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp 1,46 triliun.
http://evinn68.blogspot.co.id/2016/05/analisis-kasus-kredit-macet-pada-pt.html